TUGAS SOFTSKILL
HUKUM PERJANJIAN
NAMA KELOMPOK :
Indriani Bachrudin (25214330)
Irfan Ibrahim (25214442)
Jacqueline Sabrina. V (25214573)
Julfa Sukmawati (25214722)
KELAS: 2EB07
KELAPA DUA, DEPOK
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN AJARAN 2015/2016
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN AJARAN 2015/2016
Hukum Perjanjian
1.
Pengertian
Hukum Perjanjian
Pengertian
Hukum
Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan
atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama; keseluruhan peraturan tentang
tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
Pengertian
Perjanjian
·
R. Wirjono Prodjodikoro
mendefinisikan perjanjian sebagai “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda
antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu
hal atau tidak melakukan suatu hal,
sedang pihak lain berhak untuk menuntut perjanjian itu.
(Wirdjono P, 1985:1)
(Wirdjono P, 1985:1)
·
Yahya Harahap,
“suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua
orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan
prestasi”.
·
Perumusan pengertian
“perjanjian” dapat dijumpai pula dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999. Pasal
1 angka 7 undang-undang Nomor 5tahun 1999 mengartikan perjanjian adalah suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.
Jadi, Hukum Perjanjian bisa diartikan
sebagai peraturan yang dibentuk antara dua pihak atau lebih dalam
mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak
lain berhak untuk menuntut perjanjian itu,
baik
tertulis maupun tidak tertulis
yang tersusun dalam suatu system.
2.
Unsur-unsur
Perjanjian
Berdasarkan
perumusan pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi undang-undang Nomor 5 tahun
1999 meliputi:
a. perjanjian
terjadi karena suatu perbuatan;
b. perbuatan
tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian;
c. perjanjiannya
dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis;
d. tidak
menyebutkan tujuan perjanjian
3.
Subjek
Perjanjian
Menurut
undang-undang Nomor 5 tahun 1999, subjek hukum di dalam perjanjian adalah
“pelaku usaha”. Pasal 1 angka 5 undang-undang Nomor 5 tahun 1999 menyatakan,
yang dimaksud “pelaku usaha” adalah setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi. Dengan demikian, berdasarkan perumusan yang diberikan pasal 1
angka 5 tersebut, subjek hukum di dalam perjanjian bisa berupa perseorangan
atau badan usaha yang berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik swasta maupun
milik negara.
Terjadinya
perjanjian disebabkan oleh adanya hubungan hukum dalam harta kekayaan antara
dua orang atau lebih, dengan demikian pelaksana dari suatu perjanjian minimal
dua orang yang berhadapan yang menduduki tempat yang berbeda . Satu orang
menjadi “kreditur dan satu orang lainnya lagi menjadi debitur”. Kedua subjek
tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam perjanjian yang mereka
sepakati yaitu satu pihak berkewajiban melaksanakan prestasi dan di pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan prestasi. Menurut teori dan praktek perjanjian,
kreditur dan debitur terdiri dari (Yahya
Harahap, 1982:13-14):
1. Individu
sebagai persoon yang bersangkutan yaitu:
a) Natuurlijke
persoon atau manusia tertentu
b) Recht
persoon atau badan hukum
2. Seorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu, misalnya seorang bezitter atas kapal
3. Persoon yang dapat diganti (vervangbaar) yaitu berarti kreditur yang telah menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam perjanjian, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur/debitur baru. Perjanjian ini berbentuk “aan toonder” atau perjanjian atas nama atau kepada pemegang/pembawa pada surat-surat tagihan hutang.
2. Seorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu, misalnya seorang bezitter atas kapal
3. Persoon yang dapat diganti (vervangbaar) yaitu berarti kreditur yang telah menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam perjanjian, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur/debitur baru. Perjanjian ini berbentuk “aan toonder” atau perjanjian atas nama atau kepada pemegang/pembawa pada surat-surat tagihan hutang.
4. Objek
Perjanjian
Objek perjanjian adalah suatu prestasi. Menurut
ketentuan pasal 1234 KUH Perdata, prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian memberikan sesuatu berupa
penyerahan sesuatu barang atau memberikan sesuatu kenikmatan atas suatu barang.
Berbuat
sesuatu adalah setiap prestasi untuk
melakukan sesuatu, bukan berupa memberikan sesuatu. Misalnya melukis.
Sedangkan Tidak
berbuat sesuatu adalah jika debitur berjanji untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu misalnya tidak akan membangun sebuah pagar.
Agar perjanjian sah maka objek suatu perjanjian harus
memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu (R.Setiawan, 1979:3):
o Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal
1320 sub 3 KUH. Perdata)
o Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 1335
dan 1337 KUH. Perdata)
o Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan.
5.
Syarat sahnya Perjanjian
§ Ditinjau
dari Hukum Privat
Agar suatu
Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu :
1. sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya
kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau
kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama
mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan
perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak
hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW).
Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut,
dapat diajukan pembatalan.
2. cakap untuk
membuat perikatan;
Para pihak mampu
membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak
telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan
bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang
yang belum dewasa
b. Mereka yang
ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3/1963
tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai
yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau
izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap
adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3. suatu hal
tertentu;
Perjanjian harus
menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu
batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334
BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab
atau causa yang halal.
Sahnya causa
dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa
causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat
ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat
kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan,
mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila
syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi,
maka perjanjian batal demi hukum.
§ Ditinjau dari Hukum Publik
Berbeda dengan perjanjian
dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya kata sepakat,
namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian naskah
perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah, tidak
serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi.
Tahapan
pembuatan perjanjian meliputi :
a. perundingan
dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun
multilateral;
b. penerimaan
naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah
perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari
semua peserta melalui pemungutan suara;
c. kesaksian
naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal
yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferens
iPasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam
konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan
membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d. persetujuan
mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara
tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian,
dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah
sebagai berikut
:
a)
penandatanganan,
Pasal 12
Konvensi Wina menyatakan :
- persetujuan
negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan
wakil negara tersebut;
- bila perjanjian
itu sendiri yang menyatakannya;
- bila terbukti
bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujuidemikian;
- bila full
powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau
dinyatakan
dengan jelas pada waktu perundingan.
b) pengesahan,
melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang
berwenang di negara anggota.
6.
Akibat Perjanjian

Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi
kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak
yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian
kepada pihak ketiga.

1) Bagi negara
pihak :
Pasal 26
Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat
negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good
faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus
mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat
perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2) Bagi negara
lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat
menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan
hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa
persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan
bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB
sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan
internasional). Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional
dapat
menimbulkan akibat
bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana persetujuan
tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.
7. Berakhirnya
perjanjian
v Ditinjau
dari Hukum Privat
Perjanjian
berakhir karena :
a.
ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b.
undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian; Hukum Perjanjian Lista
Kuspriatni
Aspek
Hukum dalam Ekonomi Hal. 4
c. para
pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
d.
tertentu maka persetujuan akan hapus;
Peristiwa
tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur
dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan
dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang
disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu :
keadaan
memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat
memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir
bandang, dan adanya lahar (force majeur). Akibat keadaan memaksa absolut
(force majeur) :
a.
debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b.
kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum
bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang
disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
c.
keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur
masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu
harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau
menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan
tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak
mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan
kewajiban kreditur dan debitur.
d.
pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua
belah
pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara
misalnya perjanjian kerja;
e.
putusan hakim;
f.
tujuan perjanjian telah tercapai;
g.
dengan persetujuan para pihak (herroeping).
v Ditinjau
dari Hukum Publik
(1)
sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2) atas
persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3)
akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian,
perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma
hukum internasional yang baru, perang.
8. Perjanjian-perjanjian
yang Dilarang
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999 terdapat 11
macam perjanjian-perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh pelaku usaha dengan
pelaku usaha lain, sebagaimana diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16 yaitu
sebagai berikut:
a)
Oligopoli (Pasal
4)
b)
Penetapan harga
(Pasal 5)
c)
Diskriminasi
harga dan Diskon (Pasal 6 sampai dengan Pasal 8)
d)
Pembagian
wilayah (Pasal 9)
e)
Pemboikotan
(Pasal 10)
f)
Kartel (Pasal
11)
g)
Trust (Pasal 12)
h)
Oligopsoni
(Pasal 13)
i)
Integrasi
vertical (Pasal 14)
j)
Perjanjian
tertutup (Pasal 15)
k)
Perjanjian
dengan luar negeri (Pasal 16)
Daftar Pustaka
Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Rachmadi Usman S. H.
Hukum dan Etika Bisnis, Dr. H.
Budi Untung, S.H., M.M.
Hukum dalam Ekonomi edisi 2, Kartika Sari.
Aspek-aspek hukum perusahaan jasa penilai: appraisal
company/Joni Emirzon
No comments:
Post a Comment